Seminar Nasional bertema Pendidikan Bermakna dan Tragedi Pendidikan Nasional

Pendidikan bermakna secara konseptualistik merupakan kombinasi antara pedagogi kritis dan pendidikan partisiparotis. Pedagogi kritis berarti berwatak kritik, dalam arti proses pendidikan harus emansipatoris, yaitu membebaskan dari struktur-struktur buatan manusia yang menindas baik itu pada tingkat produksi pengetahuannya maupun praksisnya. Ini berarti pendidikan harus memiliki proyek utama membangun kesadaran kritis yang peka terhadap ketidakadilan. Sementara itu pendidikan partisipatoris sebuah proses pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam memproduksi pengetahuan dan menyelesaikan persoalan aktual yang dihadapi sehari-hari. Jadi proses pendidikan di sini adalah sebuah keterlibatan aktif dari peserta didik yang berorientasi pada pemecahan masalah.

Akan tetapi pendidikan bermakna yang bersumber dari kedua konsep besar tersebut belum cukup. Sebuah proses baru bisa disebut pendidikan bermakna jika bersifat historis dan sesuai dengan kondisi sosio-kultural Indonesia serta memiliki daya antisipatif visioner. Historis artinya, pendidikan mesti berangkat, berproses, dan berantisipasi secara dialektik dari pergulatan bangsa ini sejak mengenal peradaban, hingga kekinian, dan masa depan. Sementara itu sesuai kondisi sosio-kultural mengandung makna bahwa setiap proses pendidikan mesti berangkat dari sosio-kultur bangsa ini secara dinamis dan dialektik. Jika bangsa ini berkultur agraris-maritim misalnya, maka proses pendidikan bermakna mesti menjadi bagian dari upaya mengembangkan kompetensi yang dibentuk dan sekaligus membentuk budaya agraris-maritim secara cerdas dan kreatif. Oleh karena itu, watak utama pendidikan bermakna adalah mengajari berpikir, bukan meniru-imitatif; mengajari mencipta-produktif, bukan mengkonsumsi belaka; mengunyah, bukan menelan untal-malang. Singkatnya pendidikan bermakna menghasilkan outcome yang berkesadaran kritis, membebaskan, dan otonom-berdaya. Jadi sebuah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai subjek aktif yang berpikir dan berdaya cipta, bukan objek pasif yang berimitasi dan berkonsumsi belaka. Pendidikan bermakna adalah pilar utama dari sebuah bangunan bangsa yang berdaulat bernama Indonesia.

Pertanyaan mendasar bisa dilayangkan, apakah proses pendidikan di Indonesia selama ini sudah merupakan penerapan dari pendidikan bermakna? Sejarah menginformasikan, faktanya sejak dari jaman kerajaan, kolonial, hingga era kemerdekaan, proses pendidikan masih merupakan disain dan konstruksi dari si pemilik kekuasaan, bukan sebuah proses pendidikan dari, oleh, dan untuk warga sebagai sebuah bangsa. Ketika era kerajaan, pendidikan bukan untuk memberdayakan kawula tetapi semata-mata menjadi bagian dari melayani raja. Itulah sebabnya tidak ada kesadaran akan pentingnya hak paten, semua penciptaan hanya dipersembahkan untuk raja dan kemudian di klaim sebagai milik raja, ataupun kaum bangsawan-aristokratik lainnya.

Itulah beberapa hal yang mencoba dikaji dalam seminar yang dilangsungkan pada hari Kamis tanggal 18 Mei 2017 bertempat di Gedung Grhatama Pustaka DIY, sekaligus sebagai kegiatan pembuka dalam Pameran Teknologi Pendidikan Jogja Edufair 2017 yang diselenggarakan oleh Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan. Seminar ini menghadirkan tokoh-tokoh kritis dalam pendidikan diantaranya Prof. Dr. Mustaji (Unesa Surabaya), Prof. Dr. Darmaningtyas, dan Dr. Sugeng Bayu Wahyono (UNY).

Seminar ini diharapkan dapat menjawab tentang tragedi pendidikan nasional yang selama ini terus berlangsung tanpa menyadari kekeliruan sejak dari landasan filosofis, teoretik, dan praksisnya. Semua itu karena tidak menggunakan prinsip serta menerapkan pendidikan bermakna yang merupakan arena penyemai subyek aktif, berkesadaran kritis, membebaskan, memiliki mimbar akademik, komunitas epistemik, dan masyarakat argumentatif. Pendidikan bermakna bisa membangun kesadaran kritis yang sensitif terhadap isu fundamental yaitu ketidakadilan dan peka terhadap berbagai bentuk dominasi dan hegemoni, serta pada akhirnya lembaga pendidikan menjadi arena pengembangan berpikir, bukan imitasi.